Analisis Pelaksanaan Otonomi daerah di Kota Bandung

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di jaman sekarang yang kita tahu bahwa perkembangan dan pembangunan suatu kota saling berkaitan dengan jumlah, struktur dan dinamika penduduknya, tingkat sosial ekonomi serta luas wilayahnya. Dengan jumlah penduduk yang banyak memerlukan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai, sehingga semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin besar pula kebutuhan sarana dan prasarana di kota tersebut. Pada aspek luas wilayah, akan berkaitan dengan tingkat mobilitas dan interaksi antar penduduk. Ketiga hal tersebut di atas merupakan faktor penting dalam penentuan strategi pembangunan suatu kota.
 Dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang semakin memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur wilaahnya sendiri. Ini akan menjadi bukti setiap pemerintah daerah dalam menentukan dan membandingkan kinerja pemerintahan dalam upaya memajukan daerahnya sendiri. Dimana secara keseluruhan, daerah yang berhasil memanfaatkan otonomi daerah yang baik maka daerah itulah yang akan memiliki perkembangan pesat dalam pertumbuhan ekonominya daripada lainnya. Dalam sudut pandang tersebut, Kota Bandung dapat dikatakan pusat aktivitas perekonomian Jawa Barat. Kondisi ini menyebabkan Kota Bandung menjadi magnet penarik bagi kota-kota disekitarnya.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Kota Bandung telah menyatu dan relatif sulit untuk dapat dibedakan secara jelas dengan masyarakat daerah tetangga. Selain itu, pasca dibukanya akses jalan tol langsung menuju Kota Jakarta, Kota Bandung telah menjadi salah satu tujuan wisata favorit warga Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) khususnya di masa akhir pekan. Hal ini berdampak semakin besarnya permintaan khususnya barang konsumsi dan jasa di Kota Bandung yang memiliki dampak positif terhadap perkembangan ekonomi Kota Bandung. Karena itu, analisis ekonomi Kota Bandung akan berkaitan erat dengan perkembangan daerah sekitarnya (Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung) serta Kota Jakarta.
Bahkan kegiatan ekonomi masyarakat Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung sudah sedemikian menyatu, khususnya yang tinggal berdekatan dengan perbatasan kota. Kondisi ini dicirikan oleh penduduk yang dalam pergerakannya cenderung memusat ke Kota Bandung baik untuk kegiatan ekonomi dan sosial. Karena itu, sebenarnya memisahkan secara administratif untuk kegiatan ekonomi Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung relatif sulit karena keduanya secara empiris saling berkaitan yang melebur (aglomerasi) dalam kesatuan daerah Bandung Metropolitan.
1.2  Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis pelaksanaan otonomi daerahdi Kota Bandung  pada kurun waktu 2010-2014?
2. Bagaimana analisis PDRB di Kota Bandung pada kurun waktu 2010-2014?
3. Bagaimana analisis distribusi pendapatan dan kemiskinan di Kota Bandung pada kurun waktu 2010-2014?
4. Bagaimana analisis Penerimaan dan Pengeluaran pemerintah daerah  (APBD) di Kota Bandung pada kurun waktu 2010-2014?
5. Bagaimana analisis perkembangan sector pertanian dan industry di Kota Bandung pada kurun waktu 2010-2014?
6. Bagaimana analisis pembangunan ekonomi daerah di Kota Bandung dengan model analisis Angka Pengganda Pendapatan ?
7. Apakah permasalahan utama kondisi ekonomi daerah di Kota Bandung dan bagaimana solusinya ?
1.3 Tujuan Penulisan  
1. Untuk mengetahui analisis pelaksanaan otonomi daerahdi Kota Bandung  pada kurun waktu 2010-2014.
 2. Untuk mengetahui analisis PDRB di Kota Bandung pada kurun waktu 2010-2014.
3. Untuk mengetahui analisis distribusi pendapatan dan kemiskinan di Kota Bandung pada kurun waktu 2010-2014.
4. Untuk mengetahui analisis Penerimaan dan Pengeluaran pemerintah daerah  (APBD) di Kota Bandung pada kurun waktu 2010-2014.
5. Untuk mengetahui analisis perkembangan sector pertanian dan industry di Kota Bandung pada kurun waktu 2010-2014.
6. Untuk mengetahui analisis pembangunan ekonomi daerah di Kota Bandung dengan model analisis Angka Pengganda Pendapatan. 7. Untuk mengetahui permasalahan utama kondisi ekonomi daerah di Kota Bandung dan menjelaskan solusinya. 
1.4 Manfaat Penulisan
·        Manfaat Teoritis
            Hasil Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan gambaran tentang perkonomian Kota Bandung
·        Manfaat Praktis
            Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan perekonomian dan pembangunan daerah Kota Bandung.
             Selanjutnya hasil  penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi penyusunan program pemecahan permasalahan perekonomian Kota Bandung .

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ANALISIS PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH  ANALISIS PDRB KOTA BANDUNG

Pada hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritoir tertentu. Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun Pemerintah Daerah. Ketegasan pernyataan otonomi milik masyarakat dan masyarakat sebagai subjek dan bukan objek otonomi perlu dicanangkan dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Perwujudan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis, dalam konsep daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Aspek spasial dan masyarakat yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak pembentukan daerah otonom. Yang perlu kejelasan lebih lanjut adalah materi wewenang yang tercakup dalam otonomi daerah. Oleh karena itu, di samping pembentukan daerah otonom tercakup dalam konsep desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang urusan pemerintahan.[1] Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit distribusi wewenang antara Pemerintah dan daerah otonom.
Perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tata pemerintahan dapat disimak dari pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah yang terjadi. ‘Structural efficiency model’ yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal ditinggalkan dan dianut ‘local democracy model’ yang menekankan, nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pula pergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi.
Dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser model organisasi yang hirarkis dan gemuk ke model organisasi yang datar dan langsing. Hubungan antara kabupaten/kota dengan provinsi yang semula ‘dependent’ dan ‘subordinate’ kini hubungan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi menjadi ‘independent’ dan ‘coordinate’. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan dari dianutnya ‘integrated prefectoral system’ yang utuh ke ‘integrated prefectural system’ yang parsial hanya pada tataran provinsi. Dianutnya ‘integrated prefectoral system’ pada provinsi dengan peran ganda Gubemur sebagai kepala daerah dan wakil Pemerintah dimaksudkan untuk mengintegrasikan kembali daerah otonom yang secara desentral memiliki karakteristik keterpisahan.
Distribusi urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang semula dianut ’ultra-vires doctrine’ dengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti dengan ‘general competence’ atau ‘open and arrangement’ yang merinci fungsi pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan Provinsi. Pengawasan Pemerintah terhadap daerah otonom yang sernula cenderung koersif bergeser ke persuasif agar diskresi dan prakarsa daerah otonom lebih tersalurkan. Konsekuensinya, pengawasan Pemerintah terhadap kebijakan Daerah yang semula secara preventif dan represif, kini hanya secara represif.
Secara teoritis-empiris, urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom dimanifestasikan dalam pelayanan publik bagi masyarakat setempat dalam semangat kesejahteraan (welfare state) sesuai arahan dan amanat UUD 1945. Suara dan pilihan masyarakat setempat akan dijadikan orientasi daerah otonom. Lowndes, secara filosofis mengemukakan bahwa:
Ideas of locality and community are fundamental to the rationale for local government. Such ideas have a ‘practical’ and a ‘moral’ dimension. Practically, local government is suited to the provision of basic-level services consumed by individuals, households and communities. Morally, it can be argued that the local community constitutes the wellspring of citizenship and democracy and is fundamental building block for any government system.[2]
Dalam kerangka good governance perlu dibangun saluran-saluran untuk memungkinkan terciptanya “participatory democracy”, baik dalam proses pembuatan kebijakan maupun implementasinya. Sesuai dengan paradigma reinventing government kini berkembang bergesernya peran Pemerintah Daerah dari services provider ke services enabler untuk mengakomodasi pergeseran paradigma dari rowing the boat ke steering the boat yang terkandung dalam konsep good governance.
Di Kota Bandung sendiri telah hadir berbagai kebijakan untuk membangun dan mengatur daerahnya demi kemajuan Kota Bandung sendiri. Terlebih ketika pada tahun 2004 terjadi revisi terhadap UU N0. 22/1999 yaitu dengan terbitnya Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru (UU No. 32/2004) kewenangan pemerintahan di bidang pertanahan tetap diserahkan kepada Daerah Otonom. UU No. 32/2004 mewajibkan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan urusan di bidang pelayanan pertanahan sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah dan merupakan urusan yang bersifat wajib karena sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara. Oleh karena itu Pemerintah Daerah wajib memberikan pelayanan kepada masyarakat berkaitan dengan pengurusan di bidang pertanahan. Namun di sisi lain Pemerintah belum menuntaskan regulasi penyerahan kewenangan di bidang pelayanan pertanahan melalui peraturan pelaksana
Urusan di bidang pelayanan pertanahan merupakan urusan yang wajib dilaksakan oleh Pemerintah Daerah, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai skala masing-masing daerah. Dalam Pasal 14 (1) UU No. 32 Tahun 2004 diatur 16 urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota yaitu meliputi :
  1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
  2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
  3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
  4. penyediaan sarana dan prasarana umum;
  5. penanganan bidang kesehatan;
  6. penyelenggaraan pendidikan;
  7. penanggulangan masalah sosial;
  8. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
  9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
  10. pengendalian lingkungan hidup;
  11. pelayanan pertanahan;
  12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
  13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
  14. pelayanan administrasi penanaman modal;
  15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
  16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 
Di Kota Bandung sendiri, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Pasal 5 Ayat (2), bahwa yang dimaksud RPJMD adalah penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa RPJMD adalah dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu yang meliputi: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).
Sebagai pelaksanaan amanat tersebut, Pemerintah Kota Bandung telah menetapkan RPJPD Kota Bandung 2005-2025 di dalam Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2008. Dan perlu diketahui pula pada setiap tahap 5 (lima) tahunan RPJPD tersebut kemudian diuraikan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), yaitu: Tahap I (2003-2008), Tahap II (2009-2013), Tahap III (2014-2018), Tahap IV (2019-2023), dan Tahap V (2024-2025).
Rencana pembangunan ini adalah bentuk adanya Komitmen dari Pemerintah Kota Bandung untuk membangun daerahnya demi kesejahteraan rakyatnya. Dan rencana ini akan direalisasikan dalam bentuk laporan pertanggung jawaban pada akhir pemerintahan.
Ketika kebijakan otonomi daerah dicanangkan berbagai upaya dilakukan Pemerintah Kota Bandung untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dan membangun good govermance.   Kebijakan desentralisasi yang merupakan tonggak awal sebagai acuan pemkab Lumajang untuk menjadi lebih peka pada kebutuhan lokal, tetapi juga dapat bekerja lebih efisien dan efektif, khususnya dalam memberikan pelayanan kebutuhan dasar kepada warga masyarakat yang yang sesuai dengan standart pelayanan minimal yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat setempat.
Di era otonomi daerah saat ini terdapat 3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam penataan birokrasi dan perbaikan kualitas pelayanan publik di jajaran aparatur Pemkot Bandung , yaitu : penemuan jati diri (reorientasi), penyusunan kembali struktur dan upaya penyatuan sistem kerja yang menghasilkan sinergi kerja (aliansi).
Upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan membangun good governance di Kota Bandung tidaklah mudah karena ada beberapa faktor penghambat yaitu :
Pertama, masih belum berkembangnya code of conduct yang benar-benar kuat yang menjadi spirit atau roh bagi seluruh aparat birokrasi dalam menjalankan tugas-tugas mereka melayani masyarakat. Di masa pemerintahan yang termasuk masih transisional yakni dari model awal yang semula serba sentralistik dan top-down, kemudian diharuskan berubah ke pola baru yang lebih terdesentralistik dan bottom up).
Kedua, akuntabilitas birorkasi kepada publik belum berkembang maksimal. Dalam banyak kasus kinerja birokrasi di berbagai daerah masih terjebak pada ruang diskresi yang luas banyak aparat birokrasi yang merasa lebih perlu bertanggungjawab kepada atasan dan pihak legislatif daripada bertanggungjawab kepada publik. Di sisi lain, tidak jarang pula bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan lebih pada soal-soal administratif, sedangkan bagaimana hasil riil kerja mereka di lapangan masih kurang memperoleh perhatian.
Ketiga, koordinasi dan jaringan kerjasama antar lembaga yang ada umumnya masih belum berkembang secara maksimal sehingga kinerja birokrasi secara keseluruhan menjadi kurang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Keempat, fokus dan prioritas jenis pelayanan publik yang dikembangkan jajaran birokrasi di Kota belum tertasta dengan baik, sehingga masing-masing dinas atau lembaga yang ada seolah-olah belum memiliki acuan yang sama tentang arah yang hendak dituju. Orientasi dinas atau lembaga, dalam banyak hal lebih melayani kepentingan birokrasi itu sendiri, dan bahkan dalam beberapa kasus justru mengembangkan sikap yang meminta dilayani dengan berbagai fasilitas atau keistimewaan daripada melayani masyarakat.
Untuk memperbaiki kinerja birokrasi dan membangun tata pemerintahan Kota Bandung yang lebih baik, perlu pemahaman tentang birokrasi sesungguhnya bukan hanya sebuah lembaga pemerintah yang berfungsi melayani kebutuhan masyarakat atau sekadar aparatur negara untuk melaksanakan program-program pembangunan. Lebih dari itu, birokrasi adalah sebuah komunitas, kumpulan orang-orang yang memiliki tugas dan peran untuk merencanakan program pembangunan, melaksanakan, mengevaluasi, dan sekaligus memfasilitasi upaya pemberdayaan masyarakat miskin agar dapat merespon program-program pembangunan dengan memadai.
Secara teoritis, birokrasi pemerintah setidaknya memiliki tiga tugas pokok (Rashid: 2000). :
Pertama, memberikan pelayanan umum (service) yang bersifat rutin kepada masyarakat, seperti memberikan pelayanan perijinan, pembuatan dokumen, perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum, pemeliharaan kesehatan, dan menyediakan jaminan keamanan bagi penduduk.
Kedua, melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan yang lebih baik, seperti melakukan pembimbingan, pendampingan, konsultasi, menyediakan modal dan fasilitas usaha, serta melaksanakan pendidikan
.Ketiga, menyelenggarakan pembangunan (development) ditengah masyarakat, seperti membangun infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, perdagangan dan sebagainya.
Agar aparatur birokrasi di Kota Bandung dapat menjalankan tugas dengan baik, selain tetap menjaga akuntabilitasnya kepada publik, yang tak kalah penting adalah bagaimana birokrasi tidak hanya bekerja di bawah garis komando atau instruksi-instruksi yang sifatnya top-down. Kreativitas, sikap inovatif dan kepekaan pada persoalan di tingkat lokal adalah modal awal yang dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.

2.2 ANALISIS PDRB KOTA BANDUNG
·        Konsep dan Definisi
Produk domestik regional bruto (PDRB) atau yang lebih dikenal dengan istilah pendapatan regional (Regional Income) merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Produk Domestik Regional Bruto juga bisa diartikan dalam jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah.
Produk Domestik Regional Bruto dapat diartikan ke dalam 3 pengertian yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran. Dari ketiga pendekatan diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah nialai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilakn oleh suatu wilayah, sama dengan jumlah pendapatan faktor produksinya dan harus sama pula dengan jumlah pengeluaran untuk berbagai keperluan (PDRB atas dasar harga pasar karena mencangkup pajak tak langsung neto) (BPS Kota Bandung, 2008).



Gambar 1
   PDRB Menurut Lapangan Usaha Kota Bandung Tahun 2010 – 2014 (Trilyun Rupiah)
PDRB merupakan jumlah nilai tambah barang dan jasa akhir yang dihasilkan (nilai barang dan jasa akhir dikurangi biaya untuk menghasilkannya) oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu satu tahun. Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan ke dalam 9 (sembilan) sektor, yaitu pertanian, pertambangan, industri, listrik, gas dan air minum, bangunan atau konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, angkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa lainnya.







Dengan rincian sebagai berikut :

 
Gambar 2
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kota Bandung Tahun 2010 – 2014 (Trilyun Rp)
 
Gambar 3
PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kota Bandung Tahun 2010 – 2014 (Trilyun Rp)

Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk memberikan gambaran mengenai tinjauan ekonomi suatu wilayah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB Kota Bandung atas dasar harga berlaku tahun 2010 mencapai 102,15 trilyun rupiah. Secara umum nilai PDRB atas dasar harga berlaku Kota Bandung mengalami peningkatan setiap tahunnya. PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2011 meningkat menjadi 115,20 trilyun rupiah dan menjadi 131,99 trilyun rupiah pada tahun 2012.
Kemudian pada tahun 2013 PDRB Kota Bandung mencapai 151,77 trilyun rupiah dan meningkat sebesar 13,74 persen menjadi 172,93 trilyun rupiah pada tahun 2014. Jika dihitung atas dasar harga konstan tahun dasar 2010, pada tahun 2011 PDRB Kota Bandung meningkat menjadi 110,23 trilyun rupiah. Kemudian pada tahun 2012 meningkat kembali menjadi 119,63 trilyun rupiah. Tahun 2013 PDRB atas dasar harga konstan mencapai 128,99 trilyun rupiah atau meningkat sebesar 7,82 persen. Kemudian pada tahun 2014 mencapai 138,91 trilyun rupiah atau meningkat sebesar 7,69 persen dibandingkan tahun 2013. Secara nominal, sejak tahun 2010 baik PDRB yang dihitung atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan mengalami peningkatan.
·        Tinjauan Perekonomian Kota Bandung
1.      Struktur Ekonomi
Indikator yang seringkali digunakan untuk menggambarkan struktur ekonomi wilayah adalah distribusi persentase PDRB. Distribusi persentase PDRB yang dirinci menurut kategori dan sub kategori menunjukkan peranan masing-masing sektor terhadap PDRB secara keseluruhan. Semakin besar persentase suatu kategori semakin besar pula pengaruh kategori tersebut di dalam perkembangan ekonomi suatu daerah.
Oleh karenanya dengan hanya melihat pertumbuhan suatu kategori akan kurang tepat tanpa memperhatikan peranan kategori tersebut dalam PDRB. Jadi persentase ini dapat dianggap sebagai penimbang apabila kita ingin melihat pertumbuhan kategori dengan teliti, disamping untuk menilai sampai sejauh mana tahap industrialisasi yang sudah dijalani oleh wilayah yang diteliti.
Pergeseran struktur ekonomi Kota Bandung terlihat pada tabel yang menunjukkan besarnya peranan masing-masing kategori dalam menyusun PDRB Kota Bandung 2010 – 2014. Berdasarkan tabel ini terlihat bahwa secara umum struktur perekonomian Kota Bandung di dominasi oleh lapangan usaha kategori perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor serta kategori industri pengolahan.

Pada tahun 2010 peranan terbesar ditunjukkan oleh lapangan usaha kategori perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor yaitu sebesar 29,17 persen. Pada peringkat kedua adalah kategori industri pengolahan yang memberikan peranan sebesar 25,42 persen terhadap totap PDRB Kota Bandung 2010. Kategori yang memberikan peranan terbesar ketiga, keempat, dan kelima dalam penyusunan PDRB Kota Bandung 2010 adalah kategori konstruksi (8,02%), kategori informasi dan komunikasi (7,84%), dan kategori transportasi dan pergudangan (6,55%).
Gambar 4
Peranan PDRB Menurut Lapangan Usaha Kota Bandung 2010-2014
Sehingga akan menggambarkan struktur ekonomi seperti ini :
Gambar 5
Struktur Ekonomi Kota Bandung Tahun 2014
2.      Laju Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kota Bandung pada tahun 2014 mampu tumbuh sebesar 7,69 persen, melambat sebesar 0,13 persen dibandingkan tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi Kota Bandung dari tahun 2011 hingga 2014 memperlihatkan adanya fluktuasi. Tahun 2011 perekonomian Kota Bandung yang dihitung berdasarkan tahun dasar 2010 mampu tumbuh 7,91 persen. Kemudian pada tahun 2012 perekonomian Kota Bandung tumbuh mencapai 8,53 persen atau meningkat 0,62 persen dari tahun 2011.

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akibat pengurangan subsidi yang dilakukan pemerintah di tahun 2013 memberikan dampak pada melambatnya berbagai kategori lapangan usaha ekonomi di Kota Bandung, sehingga pada tahun 2013 secara rata-rata pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Tahun 2013 LPE Kota Bandung melambat sebesar 0,71 persen dibandingkan tahun 2012 menjadi 7,83 persen.
Kemudian pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi kembali melambat menjadi 7,69 persen. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu kenaikan PDRB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Namun pada intinya pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan suatu perkembangan dari berbagai kegiatan ekonomi. Secara umum pertumbuhan ekonomi lapangan usaha yang dirinci menurut kategori di Kota Bandung memperlihatkan fluktuasi dari tahun 2011, kecuali beberapa kategori lapangan usaha yang menunjukkan pertumbuhan positif dan meningkat setiap tahunnya.
           
Gambar 6
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung 2011-2014
Kategori lapangan usaha yang menunjukkan trend  meningkat setiap tahunnya di Kota Bandung pada tahun 2011  hingga 2014 adalah lapangan usaha kategori penyediaan  akomodasi dan makan minum, kategori jasa keuangan dan  asuransi, kategori jasa perusahaan, kategori jasa kesehatan dan  kegiatan sosial, serta kategori jasa lainnya. Adapun lapangan  usaha kategori lainnya menunjukkan fluktuasi. 
Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2014  adalah lapangan usaha kategori informasi dan komunikasi,  yaitu mencapai 14,74 persen. Kategori informasi dan  komunikasi merupakan kategori lapangan usaha dengan  laju pertumbuhan tertinggi pada tahun 2011, 2013, dan  2014.   
3.      PDRB Per Kapita
Indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan kemakmuran masyarakat secara makro adalah pendapatan per kapita atau Percapita Income. Semakin tinggi pendapatan yang diterima penduduk di suatu wilayah berarti tingkat kesejahteraannya bertambah baik dan sebaliknya penurunan pendapatan per kapita berarti tingkat kesejahteraannya semakin menurun. Dengan asumsi bahwa pendapatan faktor produksi dan transfer yang mengalir keluar (transfer out) sama dengan pendapatan faktor produksi dan transfer masuk (transfer in) maka pendapatan regional sama besar dengan PDRB per kapita. Asumsi ini digunakan karena sulitnya mendapatkan data pendapatan yang masuk dan keluar.  
  
Gambar 7
PDRB Per Kapita Kota Bandung Tahun 2010-2014
4.      Perbandingan PDRB antar Kecamatan
Dari yang dianalisis tahun 2010-2014. Penulis hanya menemukan data 2011-2012. Dan data ini akan digunakan sebagai sample dalam perbandingan PDRB antar kecamatan dari kurun waktu 2010-2014. Adapun rinciannya sebagai berikut :
    
Gambar 8
PDRB antar Kecamatan di Kota Bandung 2011-2012
            Dari data diatas dapat dilihat bahwa Kecamatan Cicendo. Sedangkan peringkat kedua adalah Kecamatan Sumur Bandung. PDRB tertinggi diperoleh dari data atas dasar harga konstan maupun atas dasar harga berlaku. Sedangkan yang memiliki laju pertumbuhan PDRB atas harga dasar berlaku dan harga konstan antar kecamatan adalah Kecamatan Bandung Wetan.
te  
Gambar 9
Laju  Pertumbuhan PDRB Kecamatan di Kota Bandung Atas Harga Berlaku dan Harga Konstan tahun 2011-2012

 2.3 ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN KOTA BANDUNG
·        Kependudukan Kota Bandung
         
Gambar 10 : Jumlah Penduduk Kota Bandung 2002-2014
Gambar 11 : Jumlah Penduduk Kota Bandung Menurut Umur Tahun 2014


Gambar 12 : Indikator Ketenagakerjaan Kota Bandung 2002-2014
Gambar 13 : Penduduk 15 tahun keatas menurut kegiatan Kota Bandung 2014
Gambar 14
Penduduk 15 Tahun keatas yang bekerja Menurut Lapangan Usaha 2014
Adanya Pertumbuhan penduduk, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah, dan sempitnya kesempatan kerja merupakan akar permasalahan kemiskinan. Jadi aspek demografis mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan yang dihadapi di Indonesia pada saat ini terutama di Kota Bandung. Daerah miskin sering ditinggalkan penduduknya untuk bermigrasi ke tempat lain dengan alasan mencari kerja.
          Banyak ide dan teori yang sudah dipaparkan cendekiawan-cendekiawan terdahulu mengenai hubungan antara pertumbuhan penduduk dan kemiskinan. Salah satunya adalah Malthus. Malthus meyakini jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan maka suatu saat nanti sumber daya alam akan habis. Sehingga muncul wabah penyakit, kelaparan, dan berbagai macam penderitaan manusia.


Komentar

  1. Sands Casino: Sports Book & Casino
    Visit the Sands Casino and Hotel in Las Vegas, NV, just septcasino a short walk from 바카라 사이트 Sands Casino. It's one 제왕 카지노 of the most exciting gaming destinations in Las Vegas.

    BalasHapus

Posting Komentar